Pewarta-se.com Jakarta
Sungguh tontonan yang sangat diluar nalar, ketika kasus tembak-menembak antar polisi terjadi di rumah perwira tinggi Polisi, tapi pengungkapannya bisa berputar-putar kayak gangsing. Kenapa?
Tak lain dan tak bukan, karena di kepolisian itu sudah terbiasa menangani kasus yang penuh tipu muslihat dan berbelit-belit dari para masyarakat pelaku kriminal, tapi sekaligus juga membuat para polisi itu memiliki kemampuan drama rekayasa kasus, jika itu menjadi kepentingan pihaknya sendiri, maupun pihak yang harus dilindunginya. Sekalipun menurut akal sehat publik tidak masuk. Karena Kepolisian memiliki otoritas yang sangat “full power” untuk itu.
Banyak kasus yang kasat mata diketahui masyarakat, seseorang sebenarnya tidak bersalah, tapi karena “full power” itu tadi, maka yang benar bisa jadi salah, yang salah bisa jadi benar. Pasal-pasal dipaksakan untuk memperkuat drama rekayasa kasus, sehingga sekonyong-konyong layak dalam proses hukum. Selanjutnya, nanti dibuktikan di pengadilan. Itulah biasanya.
Namun kali ini, dalam kasus tertembaknya Brigadir Nofriansyah Joshua Hutabarat (Brigadir J), yang notabene ajudan Kadiv. Propam Mabes Polri, Irjen Pol. Ferdy Sambo (sopir isterinya), dimana informasinya ditembak Bharada E (Richard Eliezer Pudihang Lumiu), 8 Juli 2022 di rumah dinas Ferdy Sambo, menjadi sesuatu yang membuat masyarakat jadi ikut pusing mengikutinya.
Bagaimana mungkin para polisi yang ada di rumah petinggi Polri itu tidak megetahui apa yang terjadi? Tetapi kenapa mereka tidak mau mengungkap yang sebenarnya, dan malah terkesan sengaja memainkan drama tipu muslihat, sehingga publik tidak bisa mengikuti jalan cerita yang logis menurut akal sehat?
Padahal, para polisi itu sejak awal sudah dilatih ilmu penyidikan dan penyelidikan. Itu ilmu basic buat mereka. Semakin berpengalaman, semakin tinggi pangkatnya, maka semakin mudah pula mereka ‘mencium’ ada atau tidak kebohongan dalam sebuah peristiwa atau kasus. Jangankan itu! Mengamati gelagat orang yang sedang diperiksapun, mereka mampu memprediksi dan menyimpulkannya, dan itu sudah terbiasa.
Tapi anehnya, kali ini sesama mereka saling memainkan drama kebohongan itu. Rekayasa segala sesuatupun menjadi lazim dilakukan, untuk menyembunyikan sesuatu yang harus diselamatkan. Harus diamankan, seperti istilah yang biasa dipakai mereka, jika mengamankan orang lain diluar diri mereka sendiri. Karena adanya kepentingan pribadi.
Kali ini, petinggi kepolisian ‘Kena Batunya’. Kebiasaan melakukan kebohongan dan rekayasa kasus, akhirnya kena sendiri di kalangan mereka, apalagi ini adalah petinggi Polri. Ibarat pepatah, ‘Senjata Makan Tuan’. Terpaksalah diantara merekapun main ‘petak umpet’ untuk sementara, hingga nanti ujung-ujungnya kejepit sendiri, oleh sesama rekan polisi yang lebih berwenang.
Para polisi yang terlibat menjadi tersandung oleh ulah persekongkolan mereka sendiri, dan menjadikan diri mereka terbelit sendiri. Kapolripun terpaksa turun tangan, dan harus membentuk Tim Khusus yang dipimpin Wakapolri berpangkat Komjen. Waduh…besar amat ini kasus, sampai-sampai Wakapolri harus terjun untuk penyidikan. Dan ini sekaligus menandakan, kejanggalan kini sudah diakui sesama polisi.
Dikutip dari berbagai sumber media hingga seminggu setelah peristiwa penembakan, setidaknya ada 10 kejanggalan yang terjadi dalam kasus ini yaitu: (1). Baru diumumkan tiga hari setelah kejadian; (2). Penjelasan motif penembakan yang berbeda; (3). Keberadaan Irjen Ferdy Sambo tidak jelas; (4). Penjelasan tugas Brigadir J tidak jelas; (5). Keluarga sempat tidak diizinkan melihat jenazah; (6). Keterangan luka yang berbeda; (7). CCTV di lokasi kejadian mendadak rusak; (8). Handphone Brigadir J raib tidak jelas; (9). Polisi yang memeriksa TKP tidak memberitahukan ke RT setempat; (10) Belum ditahannya waktu itu Bharada E. Dan hampir setiap hari, ada perkembangan baru yang diberitakan pihak kepolisian, yang juga memunculkan teka-teki.
Masyarakatpun jadi ikut geram dan turut mendesak kepolisian dan pihak lain terkait, agar membuka kasus ini secara terang benderang. Dan secara jelas pula, drama pembunuhan ini jadi tersandung oleh ketidaksetujuan masyarakat, terhadap kesewenang-wenangan para oknum polisi biadab yang terlibat, dan merusak institusi.
Peristiwa ini tentu telah mencoreng-moreng institusi kepolisian. Dan yang lebih parah, yang mencoreng kali ini justru dari Divisi Propam (Profesi dan Pengamanan) yang menjadi benteng Etika Kepolisian. Etika Kepolisian menjadi ‘marwah’ tertinggi yang harus dijaga setiap anggota, dari pangkat terendah hingga tertinggi.
Sebagaimana dikutip dari Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia No. Pol.: 7 Tahun 2006 Tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada Pasal 1 ayat 3 dikatakan, Etika Profesi Polri adalah kristalisasi nilai-nilai Tribrata yang dilandasi dan dijiwai oleh Pancasila serta mencerminkan jati diri setiap anggota Polri dalam wujud komitmen moral yang meliputi etika kepribadian, kenegaraan, kelembagaan, dan hubungan dengan masyarakat.
Dan pada Pasal 10 ayat (2) dikatakan, Anggota Polri wajib menghindarkan diri dari perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasinya serta menjunjung tinggi nilai kejujuran, keadilan, dan kebenaran demi pelayanan pada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c, dengan senantiasa: a. memberikan keterangan yang benar dan tidak menyesatkan; b. tidak melakukan pertemuan di luar pemeriksaan dengan pihak-pihak yang terkait dengan perkara; dan seterusnya.
Tentu, menjadi pertanyaan besar, bagaimana jadinya jika kepolisian yang seharusnya memiliki komitmen moral yang meliputi etika kepribadian, kenegaraan, kelembagaan, dan hubungan dengan masyarakat, melanggar etikanya sendiri? Bagaimana pula kepolisian yang seharusnya berperan dalam memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, kalau mereka sendiri berlumuran darah anggotanya, dan sangat mungkin melakukan pelanggaran berat?
Sungguh kontradiktif, antara Perkap Etika Profesi dengan implementasinya. Perbuatan tercela yang dapat merusak kehormatan profesi dan organisasi, sudah nyata-nyata dilakukan, oleh para penegak hukum secara umum, bahkan mereka yang memegang palu Etik dan Pengamanan internal kepolisian itu.
Padahal, dalam pernyataannya Kadiv. Propam Ferdy Sambo Nopember 2021 lalu, sebagaimana dimuat di media Kompas.com (03/11/2021), pelanggaran tahun 2021 berupa Pelanggaran disiplin anggota Polri sebanyak 1.694 kasus, Pelanggaran kode etik profesi Polri (KEPP) 803 kasus, dan Pelanggaran pidana 147 kasus, menurutnya turun jumlahnya dari tahun 2020. Namun, berapa persenpun oknum polisi jahat itu, jika dampak yang dilakukan menjadi aib se-dunia (sebab polisi Indonesia berjumlah 434.135 orang, masuk 5 besar dunia), maka akan menodai bangsa dan Negara Indonesia juga.
Ketidak percayaan masyarakat ini juga dirasakan di berbagai Polda, Polres hingga Polsek dari ujung ke ujung Nusantara ini. Banyak kasus dimana para polisi menunjukkan kesewenang-wenangannya terhadap masyarakat, hingga polisi bermasalah yang memperburuk citra institusi.
Beberapa contoh belakangan ini yang menjadi viral seperti: Kasus Irjen Pol. Napoleon Bonaparte, yang menyiksa dan melumuri Muhammad Kace dengan kotoran manusia di Rutan Mabes Polri; Eks Kapolsek Sepatan AKP Oky Bekti Wibowo yang memakai narkoba; Bripda Randy Bagus yang menghamili pacarnya Novia, hingga bunuh diri karena memaksa pacarnya menggugurkan kandungannya; dan lain-lain.
Sebab itu, pertaruhan Kapolri Jenderal Pol. Listyo Sigit Prabowo menjadi sangat berat, ketika orang dekatnya sang Kadiv. Propam justru yang harus diburu, untuk mencari kejelasan yang sesungguhnya. Mata publik setiap hari, bahkan setiap jam menyoroti kasus hilangnya nyawa ajudan Ferdy Sambo itu.
Belakangan banyak opini di masyarakat yang berkembang menduga, bahwa tidak mungkin Ferdy Sambo tidak mengetahui peristiwa itu secara tepat dan akurat (walaupun dalam keterangan polisi, dirinya sedang periksa PCR). Bahkan sebagian diantara yang menduga mengatakan, jangan-jangan Ferdy Sambo ada di TKP. Gawat…
Apalagi belakangan ini pihak Kuasa Hukum Brigadir J, balik melaporkan kasus kejanggalan dan keberatan keluarga ke Mabes Polri. Bahkan berencana akan melakukan otopsi ulang secara independen, yang sangat mungkin akan membongkar habis kebohongan dan rekayasa yang selama ini ditutup-tutupi para penyidik, maupun mereka yang terlibat memberi keterangan palsu.
Harapan masyarakat, agar kasus ini sesegera mungkin dapat terungkap dengan sebenar-benarnya. Agar keadilan dan keberpihakan terhadap kebenaran dapat diperlihatkan, sebagai bagian dari pertanggungjawaban terhadap publik.
Tentu hal ini juga diharapkan sekaligus memberi kelegaan bagi keluarga korban Brigadir J, yang ingin kebenaran terungkap. Apalagi adanya tudingan Brigadir J disiarkan melakukan pelecehan seksual, dan bahkan sempat membentak dan melakukan penodongan terhadap isteri Ferdy Sambo, Putri Candrawathi. Ini sangat mengganggu pihak keluarga, yang mengetahui Brigadir J sangat hormat ke komandan dan keluarganya selama ini.
Danny PH Siagian, SE., MM
Pemerhati Sosial Masyarakat dan Politik