Pewarta-se.net
Jakarta
ADA satu keputusan bijak yang bisa saja menghancurkan kehidupan berbangsa dan bernegara. Apakah itu?
Sebelum kita jawab, ada pertanyaan lain yang bisa kita ajukan. Kenapa Bung Karno bisa terpental dari kursi kepresidenan pada 1967?
Kita bisa menemukan jawabannya dengan menelaah Demokrasi Terpimpin yang digagas Sang Proklamator pada 1959 dan berlangsung hingga 1966.
Meskipun memiliki beberapa elemen demokrasi, sistem ini punya beberapa kelemahan yang sangat jelas. Salah satu kelemahan utama Demokrasi Terpimpin Sukarno adalah kesenjangan politik. (23/10/2023)
Meskipun ada partai-partai politik, kekuasaan sebagian besar terpusat pada presiden. Presiden Sukarno kala itu memiliki kendali penuh atas pemerintahan dan militer, yang mengakibatkan persaingan politik tak sehat.
Hal ini berdampak negatif pada representasi warga negara dalam pengambilan keputusan politik mereka.
Demokrasi Terpimpin juga seringkali disalahgunakan untuk menekan oposisi politik.
Sukarno menggunakan sistem ini yang pada akhirnya menghambat kontribusi partai-partai oposisi dan menghentikan kritik terhadap pemerintahannya.
Ini mengakibatkan pembatasan kebebasan berbicara dan berkumpul, yang merupakan hak dasar dalam demokrasi yang sehat.
Demokrasi Terpimpin juga tidak mengedepankan prinsip-prinsip transparansi dan akuntabilitas.
Karena pemerintahan yang kuat dalam tangan presiden, tindakan pemerintah seringkali tidak terbuka untuk pengawasan publik.
Keputusan politik diambil secara otoriter tanpa banyak pertanggungjawaban kepada rakyat. Sistem ini juga bersumbangsih pada gonjang-ganjing politik dan ketidakpastian di Indonesia.
Selama era Demokrasi Terpimpin, terjadi kerusuhan politik dan ketegangan sosial yang berujung pada kebijakan represif dan intervensi militer.
Lantas, ada pertanyaan lain yang menunggu dijawab. Kenapa pula Presiden Soeharto lengser pada 1998? Presiden Soeharto memimpin Indonesia selama 32 tahun, dari tahun 1966 hingga 1998.
Masa kepemimpinannya yang panjang tersebut dibagi menjadi dua periode, yaitu masa awal yang ditandai dengan stabilitas dan pembangunan ekonomi, dan masa akhir yang ditandai dengan krisis ekonomi dan politik.
Krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada medio 1997-1998, merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan kejatuhan Presiden Soeharto. Krisis tersebut dipicu oleh berbagai faktor, antara lain; kebijakan ekonomi yang tidak transparan dan cenderung otoriter, korupsi merajalela, ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola perekonomian.
Krisis ekonomi tersebut menyebabkan berbagai masalah, seperti kemerosotan nilai tukar rupiah, kenaikan harga barang, pengangguran meningkat, dan ketidakpuasan masyarakat.
Krisis politik juga merupakan faktor yang bersumbangsih terhadap jatuhnya Presiden Soeharto.
Krisis tersebut dipicu faktor pemerintahan yang korup dan otoriter, dan aksi demonstrasi mahasiswa dan masyarakat.
Puncak dari krisis politik tersebut adalah terjadinya kerusuhan Mei 1998, yang menelan banyak korban jiwa dan harta benda. Nafsu berkuasa memang selalu menjadi antiklimaks peradaban.
Sejak dulu kala, tak terhitung sudah betapa banyak pemimpin yang bahkan harus meregang nyawa , atau terhina karena gagal mengendalikan egonya .
Julius Caesar, Yazid bin Muawiyah, Xuan Tong, Abdul Hamid II, Napoleon Bonaparte, Hitler, Idi Amin, Pol Pot, Samuel Kanyon Doe—yang dimutilasi rakyatnya sendiri, mestinya cukup jadi pelajaran berharga tentang etika kepemimpinan zaman modern.
Ada pun Barack Hussein Obama, Nelson Mandela, Fidel Castro, jadi contoh bagaimana mengelola kekuasaan semangkus mungkin. Kuncinya terletak pada kematangan berpikir, bersikap, dan membangun visi jauh ke depan untuk negara yang mereka pimpin. Selain kehidupan yang telah dianugerahkan Tuhan kepada kita, tak ada lagi yang perlu dipertahankan mati-matian, apalagi sekadar kekuasaan.
*Masyarakat terhenyak siang bolong*
Negara yang baik dinilai dari bagaimana sistem yang berlangsung di dalamnya, berpihak pada segenap komponen masyarakat, berlandaskan virtue. Kualitas moral yang baik dalam diri seseorang, atau kualitas umum yang baik secara moral. Menjunjung tinggi kemaslahatan bersama. Mengedepankan kebenaran selaku pilar negara.
Tidak boleh ada satu pun pihak yang bisa menjadikan negara sebagai batu loncatan untuk mengejar kepentingan pribadi, keluarga maupun kelompoknya. Landasan Aristotelian tersebut, nampaknya kian sulit kita temukan belakangan ini.
Peninjauan kembali tentang batas usia presiden dan wakil presiden oleh Mahkamah Konstitusi, terasa kentara betul muatan politik dari satu golongan tertentu.
Apakah ada yang janggal dari undang-undang tersebut sehingga harus ditinjau ulang? Para pendiri negara-bangsa ini tentu sudah melakukan kajian mendalam terkait itu, sebelum mereka merumuskannya.
Para ahli psikologi dan para orangtua tentu sangat mafhum dengan alasan mengapa usia bagi calon pemimpinya harus dibuat batasan 40 tahun? Bahkan para Nabi-Rasul yang ditahbis oleh Tuhan untuk memimpin umat manusia, diberi Wahyu pada usia 40 tahun.
Dalam kasus Indonesia, misalnya, Bung Karno didapuk sebagai presiden pada usia 44 tahun, dan Bung Hatta sebagai wakil presiden pada usia 45.
Pada era dan Orde kekuasaan sekarang, nampaknya sudah muncul pemikiran yang mulai tergoda untuk bermain api, baik didasari kesadaran maupun ketidaksadaran.
Kecenderungan membangun satu arus aliansi kekuasaan dalam kerangka berpikir demokrasi, bisa berubah keniscayaan jika disertai dengan meritokrasi—meskipun ini musykil adanya.
Kesempatan untuk memimpin harus terbuka peluangnya bagi segenap rakyat yang memiliki kemampuan. Akhir-akhir ini kita seringkali dipaksa keadaan untuk terhenyak, kecewa, dan berduka.
Hari-hari yang seperti diselimuti ketidakpuasan. Seorang pemimpin sejati, lahir dari rahim pengabdian. Bukan dengan gelontoran uang, apalagi sekadar mengandalkan garis keturunan dengan keterbatasan kapasitas, kapabilitas dan integritas.
Ia biasanya muncul dari tempaan yang hebat. Seorang juara tercipta melalui perjuangan yang sebenarnya. Ia tidak boleh menabrak, apalagi mengabaikan konsep keadilan dan prinsip-prinsip yang telah disepakati bersama.
Bukankah demokrasi dimulai dengan asumsi baik, dengan keyakinan pada proses pemilihan dan pemimpin yang dipilih? Namun, saat ini, asumsi baik ini terasa semakin retak, bahkan mungkin juga hancur, karena orang-orang yang kita percayai ternyata bertindak sembrono.
Padahal, asumsi baik ini, meskipun terkadang terlihat naif, seharusnya menjadi modal sosial yang mendorong kita untuk membangun persatuan dalam bangsa. Sebagai salah seorang warga negara, kita tidak bisa hanya berdiam diri tanpa berkontribusi terhadap keadaan yang terjadi.
Kita akan didera oleh perasaan bersalah terhadap negara kita, “satu-satunya tempat yang kita miliki”, jika hanya berdiam diri tanpa mencoba mengingatkan tentang keadaan yang kita rasa perlu untuk diperbaiki. Namun, dengan catatan, bahwa kita pun harus menyadari adanya batas yang harus dihormati.
Saya pikir, sebagai bagian dari negara, kita tidak ingin hanya menjadi penonton tanpa tindakan. Saya masih bersyukur bahwa di tengah gejolak dimana nilai-nilai yang dibangun dalam kehidupan berbangsa dan bernegara tampaknya diabaikan, realitasnya, masih ada ruang untuk bisa mengekspresikan diri melalui menulis.
Kegiatan ini selalu mengingatkan kita untuk mengejar yang baik dan menghindari yang palsu. Di antara kita juga, anak bangsa ini masih memiliki beberapa teman yang tetap teguh pada prinsip-prinsip keindonesiaan mereka, dan menolak terlibat dalam politik yang kehilangan nilainya, sehingga masih mendengar suara-suara yang menyerukan untuk menghentikan perbuatan yang dirasa kurang pas dalam penyelenggaraan kehidupan bernegara.
Mereka paham betul tentang apa yang akan hilang dan dicuri dari generasi Indonesia yang akan datang. Saya merasa khawatir, tetapi juga masih berharap bahwa dalam keberagaman pandangan dan perasaan ini, kita dapat menemukan cara untuk memperbaiki, memulihkan, dan membangun kembali nilai-nilai yang penting bagi masa depan bangsa kita.
Pagelaran kehidupan yang sedang kita emban, bersumbu di atas pengenalan salira, pengabdian diri, orangtua, keluarga besar manusia, dan saudara-saudari selangit-bumi. Maka kehadiran kita di jagat ini, jadi berarti dengan adanya dharma bhakti.
Berat sama dipikul ringan sama dijinjing, mikul duwur mendem jeru dan rasamu adalah rasaku jua.
Lakukanlah apa saja yang bila hal itu dilakukan orang lain padamu, maka kau pun merasa bahagia karenanya. Itulah representasi watak welas asih dan akhlak terpuji. Dan merupakan pengejawantahan dua puluh sifat mulia alam semesta. Berbagi segala sesuatu kepada segala sesuatu-sebagaimana adamu.
Bangsa Indonesia, sebenarnya punya bekal yang lebih dari cukup untuk hidup berbahagia. Gemah Ripah loh jinawi. Salam damai dalam asah, asih, dan asuh, serta salam kebangsaan.
Penulis ; Mayjen TNI Rido Hermawan, M.Sc.
Tenaga Ahli Pengajar Bidang Kewapadaan Nasional di Lemhannas
Editor : Anna / Harini