Di era informasi yang semakin maju ini, jurnalisme tidak lagi eksklusif bagi mereka yang memiliki akses ke mesin cetak atau lisensi dari pemerintah. Dunia digital telah membuka peluang yang lebih luas, memungkinkan setiap individu menjadi sumber informasi dan opini. Wilson Lalengke, seorang tokoh yang dikenal dengan pemikirannya yang progresif, memberikan kritik tajam terhadap media konvensional seperti Kompas dan lembaga seperti Dewan Pers, yang dianggapnya gagal beradaptasi dengan perkembangan zaman.
Media Konvensional yang Terjebak di Masa Lalu
Lalengke menyebut pola pikir Kompas sebagai sesuatu yang “jadul”—terjebak dalam dunia pers cetak yang sudah usang. Bagi Lalengke, media ini seolah tidak menyadari bahwa dunia telah bergerak menuju era digital, di mana jurnalisme warga (citizen journalism) telah berkembang pesat. Dalam pandangannya, Kompas masih beroperasi seolah-olah mereka hidup di masa lalu, ketika kontrol terhadap informasi masih bisa dikendalikan oleh segelintir elit. Jurnalisme warga, yang memberikan kekuasaan kepada masyarakat untuk menyampaikan informasi dan opini mereka, dipandang Lalengke sebagai masa depan jurnalisme yang lebih demokratis.
Dewan Pers: Pengawas atau Penekan?
Kritik Lalengke juga menyentuh Dewan Pers, yang menurutnya lebih banyak berperan sebagai penekan daripada pelindung kebebasan berekspresi. Ia menilai, Dewan Pers telah lama mengebiri hak rakyat untuk bersuara, sehingga menciptakan masyarakat yang inferior terhadap penguasa, aparat, dan orang kaya. Ini adalah kritik serius terhadap lembaga yang seharusnya berfungsi sebagai penjaga independensi pers dan kebebasan berekspresi. Menurut Lalengke, keberadaan Dewan Pers dan media seperti Kompas justru memperkuat dominasi elit dan melemahkan suara rakyat.
Usulan Pembatasan Media: Langkah Mundur?
Salah satu kritik paling tajam dari Lalengke adalah terhadap usulan Kompas dan Dewan Pers untuk membatasi lahirnya perusahaan-perusahaan media baru. Bagi Lalengke, ini adalah pemikiran yang melawan zaman, sebuah langkah mundur yang mencoba melawan arus perubahan. Di era di mana informasi seharusnya lebih mudah diakses dan disebarkan, pembatasan seperti ini hanya akan membatasi kebebasan dan inovasi dalam dunia jurnalisme.
Tanggung Jawab Moral: Korupsi dan Nepotisme
Lalengke juga tidak segan-segan menuduh Kompas sebagai penyemai bibit korupsi dan nepotisme (KKN). Ia mengangkat kasus-kasus korupsi yang melibatkan wartawan Kompas, menegaskan bahwa ini bukan hanya masalah individu, tetapi juga tanggung jawab moral dari media dan lembaga yang membina mereka. Tuduhan ini memperlihatkan kekecewaan Lalengke terhadap institusi yang seharusnya menjadi teladan dalam menjaga integritas dan transparansi.
Bisnis dan Ruang Publik
Lalengke mencurigai bahwa di balik usulan pembatasan media baru, ada kepentingan bisnis yang menggerakkan Kompas. Ia menyebut bahwa mungkin karena usaha perhotelan Kompas mulai lesu, mereka ingin mengakuisisi kembali ruang publikasi yang seharusnya dimiliki oleh rakyat. Ini adalah tuduhan serius yang menunjukkan bahwa Lalengke melihat adanya upaya dari media besar untuk mengontrol kembali narasi publik demi kepentingan mereka sendiri.
Masa Depan Jurnalisme: Era Digital dan AI
Pada akhirnya, Lalengke menyadari bahwa masa depan jurnalisme tidak akan ditentukan oleh media konvensional yang terjebak di masa lalu. Era digital, dengan semua inovasi teknologinya, termasuk jurnalisme berbasis AI, akan segera mendominasi dunia publikasi. Bagi Lalengke, ini adalah sesuatu yang tak terelakkan—media harus segera beradaptasi atau mereka akan tertinggal dan hilang dari peredaran.
Kesimpulan
Pikiran progresif Wilson Lalengke tentang jurnalisme digital adalah panggilan untuk perubahan. Ia menuntut media dan lembaga seperti Dewan Pers untuk melepaskan pola pikir lama yang tidak relevan di era digital ini. Lalengke mengingatkan bahwa jurnalisme harus berkembang seiring dengan masyarakatnya, dan bahwa era baru yang lebih demokratis dan inklusif sedang menunggu di depan mata.