_Oleh: Syaefudin Simon_
Bekasi – Di tengah gemuruh media digital yang sarat hoax dan berita kaleng, Willson Lalengke, menyodorkan genre pers baru. Yaitu pers rakyat. Wadahnya: Persatuan Pewarta Warga Indonesia (PPWI).
Saat ini, setelah berusia 17 tahun, nggota PPWI sudah mencapai puluhan ribu orang. Mengutip Timorline. com, saat ini PPWI telah dipercaya menjadi wadah lebih dari 10.000 media online, cetak, dan tv streaming di Indonesia dan luar negeri.
Di beberapa negara Timur Tengah, seperti Oman, Lebanon, dan Libya, sudah ada perwakilan PPWI, kata Wilson.
PPWI terus mendorong lahirnya sejuta pewarta warga dan media online yang selanjutnya bergabung dalam International Citizens Journalists Association (ICJA). Dengan adanya citizen reporter, harap alumnus studi Global Ethics Birmingham University, Inggris itu, peristiwa kriminal dan pelanggaran hukum di daerah dapat diketahui public secara luas dan mendapat solusi yang cepat.
Informasi yang viral, ujar Wilson, kini menjadi instrumen penting untuk menegakkan keadilan. Di situlah peran penting pewarta warga. Ia masuk ke jantung peristiwa di kampung dan desa, sehingga mampu mengungkap setiap peristiwa dengan obyektif dan jujur apa adanya.
PPWI kini menjadi organisasi pers dengan anggota terbanyak di Indonesia. Bahkan mungkin di dunia. Jauh di atas PWI (Persatuan Wartawan Indonesia) atau AJI (Asosiasi Jurnalis Independen). Menurut Wilson, anggota PPWI sangat beragam, mulai dari asisten rumah tangga (ART), mak-mak, TKW, ASN, kopral, jenderal, guru SD, guru besar, pensiunan, pengusaha, pengacara dan lain-lain. Mereka — insan pewarta warga tersebut — tersebar di seluruh Indonesia.
Setiap orang berhak nenjadi insan pers, wartawan, atau penyampai berita. Yang penting, kata Wilson, berita yang disampaikannya benar dan sesuai prinsip-prinsip jurnalistik. Jujur, obyektif, tidak memihak, bertujuan mulia.
Dalam menjalankan tugasnya, pewarta warga tak boleh menerima uang atau imbalan yang dapat mempengaruhi obyektivitas berita; menyampaikan berita bohong (hoak); dan mencari berita tanpa etika, dan lain-lain. Intinya, semua prinsip kerja dan kode etik wartawan profesional, menjadi bagian standar kerja pewarta warga.
Tentu saja, Wilson dan timnya, rajin berkeliling Indonesia untuk mendidik anggotanya agar memahami dunia pers berikut semua hak dan mewajibannya sebagai pewarta warga. Maklumlah, anggota PPWI, ada yang pakar dan ada pula yang baru belajar. Meski demikian, mereka punya niat yang sama: menegakkan keadilan dan membebaskan rakyat dari ketakutan, penindasan, dan kezaliman,
Alhamdulilah, saat ini, citizen reporter sudah banyak membantu warga di daerah-daerah dalam menyuarakan keadilan — ujar Wilson Lalengke, Msc, MA — ketua umum PPWI itu. Pria asal Kasingoli, Morowali Utara, ini mengaku mendirikan PPWI karena banyak masalah di daerah pedalaman dan terpencil yang tidak terekspose ke publik lantaran tak tersentuh pers mainstream. Padahal banyak sekali kasus kriminal, kasus hukum, kasus pelanggaran HAM, pelecehan seksual, narkoba dan lain-lain di desa-desa yang tak tercium pers, ujar Wilson.
Dari fenomena inilah Wilson menyadari bahwa masa depan jurnalisme tidak lagi akan ditentukan oleh media konvensional yang besar dan berada di pusat kota. Era digital, dengan semua inovasi teknologinya, termasuk jurnalisme berbasis AI, akan segera mendominasi dunia publikasi. Bagi Wilson, kondisi ini tak terelakkan. Karena itu, media harus segera beradaptasi. Jika tidak, media tersebut akan ditinggalkan dan lenyap dari peredaran.
Dan PPWI berdiri untuk menuju era baru itu. Era di mana setiap orang adalah jurnalis. Setiap orang adalah wartawan yang mampu menulis “warta” dengan baik dan benar. (*)
_Penulis adalah kolumni berbagai media, mantan Editor Harian Republika, anggota PPWI Bekasi_