Prov. Lampung
Ingar-bingar kampanye cagub-cawagub mulai terasakan. Tebar gagasan dan ide memajukan Provinsi Lampung saling bersahutan. Dua pasang cagub-cawagub penuh optimisme dengan segudang siasat guna meraih kemenangan.
Namun, tahukah mereka: Cagub Arinal Djunaidi dan Rahmat Mirzani Djausal, Cawagub Sutono dan Jihan Nurlela, akan adanya beban atas kondisi keuangan Pemprov Lampung saat sekarang yang harus mereka sandang ketika meraih kemenangan pada pilkada 27 November mendatang?
Mestinya –dan sudah sewajarnya- mereka tahu. Atau jangan-jangan, malah memang tidak tahu. Sehingga, ketika menjadi pemenang Pilgub Lampung, baru tersadarlah mereka. Bahwa jabatan yang diperebutkan –dan diperjuangkan habis-habisan- itu, ternyata, demikian amat sangat memberatkan.
Guna memberikan “penyadardirian” kepada dua pasangan yang bertarung dalam pilgub, selayaknya perlu dibeberkan kondisi keuangan Pemprov Lampung yang sebenar-benarnya. Tentu saja mengacu pada data yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan. Berikut uraiannya:
Merunut pada Laporan Keuangan Pemprov Lampung Tahun Anggaran 2023 yang ditandatangani –dan dipertanggungjawabkan- Arinal Djunaidi selaku Gubernur pada Mei 2024, realisasi PAD mencapai Rp 3.766.194.060.633,03. Atau 78,32% dari target Rp 4.808.699.109.382,17. Memang, ada kenaikan dibanding tahun anggaran 2022, sebesar Rp 3.678.302.294.680,71.
Di sisi lain, pada tahun anggaran 2023 direalisasikan belanja dan transfer per 31 Desember 2023 sebanyak Rp 7.048.993.246.381,70, dari yang dianggarkan Rp 8.280.862.934.283,54. Bila dibandingkan tahun 2022 terdapat kenaikan sebesar Rp 262.619.175.768,76, yaitu dari Rp 6.786.374.070.612,94.
Bagaimana dengan defisit keuangan riil Pemprov Lampung pada tahun anggaran 2023? Mengacu pada Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) BPK RI Perwakilan Lampung Nomor: 40B/LHP/XVIII.BLP/05/2024, tertanggal 3 Mei 2024, angkanya mencapai Rp 1.408.450.654.898,52.
Yang patut menjadi catatan: Defisit keuangan riil tersebut mengalami peningkatan sebanyak Rp 859.740.458.920,28 bila dibandingkan tahun anggaran 2022 dalam posisi Rp 548.710.195.978,24. Hal yang juga patut untuk dicatat adalah: kenaikan defisit keuangan riil Pemprov Lampung di akhir masa jabatan Arinal Djunaidi tersebut mencapai 157%.
Konsekuensi logis dari kenaikan yang sangat fantastis dalam defisit keuangan riil itu adalah meningkatnya jumlah utang Pemprov Lampung kepada pihak ketiga. Dari sebesar Rp 93.776.968.056,20 pada tahun 2022, menjadi Rp 362.047.041.259,66 di tahun anggaran 2023.
Untuk diketahui, pada tahun anggaran 2023, Pemprov Lampung menganggarkan pendapatan daerah sebesar Rp 8.093.971.284.382,17, namun yang terealisasi Rp 6.987.319.981.739,03 atau 86,33% saja. Sementara, belanja daerah dianggarkan Rp 8.280.862.934.283,54 dan direalisasikan sebanyak Rp 7.048.993.246.381,70 atau 85,12%.
Dan bila dirunut tiga tahun anggaran ke belakang, memang pendapatan daerah tidak pernah selaras dengan yang dianggarkan. Misalnya pada tahun 2021, anggaran pendapatan daerah dipatok pada angka Rp 7.538.150.772.809,50, realisasinya Rp 7.469.469.346.029,05 (99,09%).
Lalu pada tahun 2022, pendapatan daerah dianggarkan Rp 6.915.251.441.290,74, yang terealisasi Rp 6.836.946.972.193,71 (98,87%), dan di tahun 2023 kemarin dianggarkan pendapatan mencapai Rp 8.093.971.284.382,17, realisasinya Rp 6.987.319.981.739,03 (86,33%).
Bagaimana dengan belanja daerah? Pada tahun 2021 dianggarkan Rp 7.557.497.851.948,54, dengan realisasi Rp 7.097.651.401.591,13 (93,92%). Di tahun 2022 dianggarkan belanja daerah sebanyak Rp 7.106.758.595.503,07, yang terealisasi Rp 6.786.374.070.612,94 (95,49%), dan tahun 2023 dianggarkan Rp 8.280.862.934.283,54, terealisasi Rp 7.048.993.246.381,70 (85,12%).
Mengapa bisa demikian tinggi kenaikan defisit keuangan riil Pemprov Lampung pada tahun anggaran 2023 kemarin? Mengutip dari LHP BPK RI Perwakilan Lampung Atas Sistem Pengendalian Intern dan Kepatuhan Terhadap Ketentuan Peraturan Perundang-Undangan Pemprov Lampung Tahun 2023, tak lain akibat tidak memadainya penganggaran pendapatan dan pengelolaan belanja.
Hal itu dapat dilihat dari penganggaran pendapatan yang tidak berdasarkan perkiraan terukur secara rasional dan dapat dicapai. Bahasa lainnya, Pemprov Lampung tidak memperhatikan potensi dan realisasi tahun sebelumnya.
Ketidakrasionalan itu –sebagai contoh- dibuktikan dengan dianggarkannya bagian laba (dividen) atas penyertaan modal pada BUMD sebesar Rp 496.138.511.099,39. Namun, yang terealisasi hanya Rp 51.110.035.229,39 atau 10,30% saja. Pun hasil penjualan barang milik daerah dianggarkan Rp 592.911.057.254,00, ternyata realisasinya tidak lebih dari Rp 4.170.587.186,00 atau 0,70% dari nilai anggaran.
Dan menurut catatan, defisit keuangan riil Pemprov Lampung dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan. Artinya, tata kelola pendapatan dan belanja tidak dilakukan secara berimbang, akibat penentuan pendapatan yang tidak terukur dan jauh dari rasionalitas. Di sisi lain, pengembangan upaya peningkatan pendapatan memang tidak pernah diseriusi.
Karenanya, kedepan dibutuhkan kepemimpinan pemerintahan yang bisa menempatkan birokrat-birokrat berkemampuan dan berkeberanian melakukan akselerasi-akselerasi pengembangan potensi yang demikian banyak di provinsi ini. Bukan yang menjalankan tugas “alakadarnya” seperti yang terjadi selama ini.
Kita tinggalkan persoalan pendapatan daerah yang memang masih sangat jauh dari harapan. Di mana fakta menunjukkan, bahwa pada anggaran tahun 2023 Pemprov Lampung mempunyai desifit keuangan riil sebesar Rp 1.408.450.654.898,52 atau mengalami peningkatan 157% dibandingkan tahun sebelumnya. Sebuah “catatan hitam” yang ditorehkan oleh kepemimpinan di periode 2019-2024.
Bagaimana dengan tata kelola dan penggunaan anggaran? Harus diakui, kedisiplinan -apalagi kepatuhan- pada ketentuan perundang-undangan dalam hal tersebut, masih jauh dari yang diharapkan. Mengapa begitu? Karena hanya untuk sekadar menempatkan pos penganggaran belanja saja, masih banyak OPD yang ”salah kamar”.
Memang hal ini bisa dibilang tidak masuk akal. Karena pekerjaan merancang anggaran adalah tugas rutin tahunan. Dan yang menjadi kepala OPD tentu ASN yang telah melalui proses panjang dalam kebirokrasian. Tetapi, inilah fakta yang sebenarnya.
Menurut temuan BPK RI Perwakilan Lampung, setidaknya terdapat 28 OPD yang salah dalam menempatkan penganggaran belanja, dengan nominal mencapai Rp 51.786.065.128,62. Dari 28 OPD tersebut, 15 di antaranya menganggarkan pembelian aset tetap pada anggaran belanja barang dan jasa, dengan nilai Rp 6.677.257.625,00.
Di mana letak salahnya? Seharusnya, belanja untuk memperoleh aset tetap dianggarkan pada belanja modal, bukan pada belanja barang dan jasa yang dikapitalisasi kepada aset tetap yang sudah ada. Ironisnya, praktik “salah kamar” penganggaran tersebut telah tercatat dalam mutasi tambah tahun 2023 pada kartu inventaris barang (KIB) dan telah disajikan pada neraca laporan keuangan Pemprov Lampung.
OPD mana saja yang “salah kamar” dalam penganggaran barang dan jasa pada anggaran tahun 2023 tersebut? Badan Kesbangpol dengan nilai Rp 191.028.057,00, Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Daerah (BPSDMD) Rp 1.571.694.662,00, Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Rp 308.035.000,00, Dinas Kelautan dan Perikanan Rp 39.928.500,00, Dinas Kesehatan Rp 94.498.786,00, Dinas Ketahanan Pangan, Tanaman Pangan dan Hortikultura Rp 533.629.345,00, dan Dinas Komunikasi, Informatika dan Statistik Rp 248.733.500,00.
Selain itu, Dinas Pemuda dan Olahraga dengan nilai “salah kamar” anggaran sebesar Rp 607.261.403,00, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Rp 205.668.660,00, Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air Rp 614.294.255,00, Dinas Perindustrian dan Perdagangan Rp 347.729.700,00, Dinas Perumahan, Kawasan Permukiman, dan Cipta Karya Rp 654.960.500,00, Dinas Sosial Rp 297.276.000,00, RSUD Abdul Moeloek Rp 402.920.257,00, dan Sekretariat Daerah Rp 559.598.000,00.
Ironisnya lagi, “salah kamar” juga terjadi pada 26 OPD terkait penganggaran belanja habis pakai pada anggaran belanja modal, dengan nilai Rp 10.110.930.083,62.
Di tempat lain, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan merealisasikan anggaran modal untuk dihibahkan sebesar Rp 99.438.500,00. Yang diperuntukkan kepada Paguyuban SSGGN sebanyak Rp 49.588.500,00 dan Paduan Suara SN Rp 49.850.000,00.
Yang juga layak diungkap adalah adanya penggunaan sisa dana alokasi umum (DAU) yang tidak sesuai peruntukannya. Seperti diketahui, selama tahun anggaran 2023, Pemprov Lampung menerima dana alokasi umum (DAU) sebesar Rp 1.801.100.499.930,00, dana alokasi khusus (DAK) Fisik sebanyak Rp 280.285.026.271,00, dan DAK Non Fisik Rp 828.933.383.449,00.
Dari ketiga pendapatan tersebut, sisa kegiatannya sebesar Rp 120.423.645.941,00. Namun, berdasarkan rekening koran kas daerah per 31 Desember 2023, yang tersisa sebagai saldo hanya Rp 15.200.944.214,02. Hal ini membuktikan bila terdapat penggunaan DAU sebesar Rp 105.222.701.726,98 diluar yang telah diatur dalam petunjuk teknis.
Digunakan untuk apa “geseran” DAU tersebut? Kabid Perbendaharaan BPKAD Pemprov Lampung mengaku, karena DAU specific grand (SG) P3K masih tersisa pada akhir tahun dan jumlah pegawai P3K formasi tahun 2022 dan 2023 yang ada di Pemprov Lampung lebih kecil dari formasi yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor: 212 Tahun 2022, maka sisa DAU digunakan untuk membayar belanja yang belum terbayarkan akibat keterbatasan dana di rekening kas umum daerah (RKUD).
Urusan tata kelola dan penggunaan anggaran ini memang unik. Di satu sisi, “main geser” anggaran sekehendaknya, di sisi lain ada pegawai yang sejak Januari sampai Desember 2023 tidak masuk kerja, terus diberi gaji. Ia adalah FR, pegawai Sekretariat DPRD, tetap menerima gaji dengan total Rp 44.044.600,00, dan ED, pegawai di Biro Perekonomian Setdaprov Lampung, pada bulan Januari 2023 tidak masuk kerja tanpa keterangan selama 19 hari, dan sejak Mei juga tidak pernah bekerja. Namun, ia tetap memperoleh gaji dengan total Rp 34.887.900,00.
Yang lebih parah lagi terjadi di Dinas Pendidikan dan Kebudayaan. Tiga pegawainya –Pur, SN, dan Nyo- telah meninggal dunia. Tetapi tetap memperoleh gaji pada bulan Agustus dan September 2023 dengan total anggaran yang dikeluarkan Rp 17.299.100,00. Bahkan, ada pegawai yang telah pensiun –Mir- masih digaji dengan nilai Rp 5.698.400,00.
Masih di Disdikbud pimpinan Sulpakar, beberapa pegawai yang sedang cuti besar pun tetap menerima tunjangan –baik tunjangan umum maupun tunjangan fungsional-, dengan nilai Rp 24.489.000,00.
Perilaku tidak taat pada ketentuan perundang-undangan atau mungkin tepatnya adalah akal-akalan untuk “mengutil” anggaran, seakan sudah melegenda di jajaran ASN Pemprov Lampung.
Jadi, beban Gubernur-Wagub Lampung mendatang –sebenarnya- bukan hanya memikirkan menurunkan jumlah utang dan defisit keuangan riil yang melejit tidak terkendalikan, tetapi juga memperbaiki “mental dan otak” jajaran birokrat yang akan menjadi pelaksana segudang ide dan gagasan, yang akan mulai terihat dalam debat perdana cagub-cawagub 13 Oktober mendatang. (sugi)